Batas dunia seseorang adalah batas bahasanya. Begitu kata si filsuf Wittgenstein.
Maksud sang filsuf jelas, seseorang yang setiap harinya bergulat untuk mencari makan untuk besok, tak mungkin akan berbicara tentang musik Lady Gaga. Sebaliknya, sang remaja yang membeli tiket dua jutaan rupiah untuk bisa nonton konser Lady Gaga, pasti tak akan bisa memahami bahwa uang sejumlah itu bisa dipakai hidup selama tiga bulan!
Mungkin absurd, mungkin juga tidak. Jangan-jangan, batalnya konser Lady Gaga, sebenarnya juga karena masalah "bahasa" yang tak nyambung. Apalagi "bahasa" yang dipakai sudah menyinggung "dunia sini" dan "dunia sana" atau "lubang sini" dan "lubang sana". Tapi, yang ini bukan black hole. Juga, dunia "setan" dan dunia "malaikat" atau "lubang setan" dan "lubang malaikat".
Bahasa memang bisa jadi rumit. Bagi seorang kawan yang bekerja di dunia iklan, bahasa adalah alat untuk membujuk. Bagi ibu guru, bahasa berguna untuk memperjelas pelajaran—meski ada juga dosen yang menutupi ketidakmampuannya dengan memakai bahasa yang berbelit-belit.
Makin bingung sang mahasiswa, makin merasa pintar sang dosen. Sementara seorang yang hari-harinya selalu terobsesi untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak lagi, akan selalu terpikat dengan kata-kata yang selalu berkaitan dengan uang, uang, dan uang…
Bahasa adalah baju bagi jiwa. Dus pilihan-pilihan kata seseorang adalah pilihan orientasinya. Seorang anggota dewan, menurut sebutan resminya adalah anggota dewan perwakilan rakyat.
Namun, kita lebih suka menyebut semua mereka yang kerjanya duduk di kursi empuk sambil membahas uang sewa apartemen, uang reses, dan jatah kunker ke luar negeri itu, sebagai pejabat. Maka tak perlu heran bila mereka juga lebih suka berperilaku sebagaimana mereka disebut.
Jangan kaget pula kalau drama seksi skandal korupsi "Proyek Wisma Atlet", Korupsi "Proyek Hambalang", misalnya. Dan, skandal korupsi basi –diduga melibatkan sederet pejabat DPR RI periode lima tahun lalu– yang dihangatkan lagi; Skandal "Cek Pelawat". Tersangkanya pun 'Srikandi' guru besar sebuah kampus paling bergengsi di negeri ini, Miranda Gultom. Satunya lagi juga perempuan, dan kini terpidana. Nunun Nurbaeti, dia malah isteri mantan Jenderal Polri.
Nah, pejabat-pejabat di gedung wakil rakyat, sudah jadi rahasia umum, lebih suka membahas siapa duduk di mana, siapa dapat komisi apa, serta siapa berani menyumbang berapa, ketimbang harus memikirkan bagaimana supaya para pedagang kaki lima bisa mencari nafkah dengan jenak tanpa diobrak ke sana kemari. Atau, membahas bagaimana caranya agar biaya pendidikan makin terjangkau rakyat banyak.
Tak perlu heran pula bila kita setiap hari mendengar banyak jalan-jalan yang setiap hari macet terus karena kendaraan yang lewat lebih banyak ketimbang lebar jalan yang dilewati. Sementara para pejabat itu lebih suka membahas proyek-proyek besar dengan biayanya triliunan rupiah yang sebenarnya bisa dipakai membangun sekian ribu pemukiman.
Memang, yang dibahas sama-sama soal kemacetan lalu lintas. Karena kemacetan lalu lintas juga bisa berdampak serius pada bapak-bapak pejabat tadi; mereka bisa telat sampai di kantor, dan bisa stres di jalan.
Kalau begini yang rugi kan juga rakyat banyak. Mana mungkin, mereka bisa membahas nasib rakyat dengan baik bila sampai di gedung mereka yang mentereng itu sudah dalam keadaan capek, stres dan pusing tujuh keliling? Apalagi kalau di jalan-jalan, mereka masih harus menyaksikan kaki lima bertebaran di mana-mana, pasti mumet? Kasihan. (bersambung-2) *penulis mantan redaktur artikel Jawa Pos
sumber
0 komentar on Di Senayan Itu Susah Membedakan Lubang “Setan” dan “Malaikat” :
Posting Komentar