Pada zaman purba, petani akan selamanya makan padi, nelayan akan selamanya makan ikan, peladang hanya makan buah-buahan, peternak akan konsumsi daging, pemburu akan selalu makan binatang hasil buruan, dst.. Mengapa bisa dikatakan demikian? Tak lain karena zaman dulu manusia belum mengenal apa yang disebut sebagai "transaksi bisnis". Kehidupan zaman dulu benar-benar sangat membosankan. Yang dikonsumsi ya itu-itu saja. Jangankan zaman purba, sekarang yang sudah modern saja masih ada banyak orang yang hidupnya merasa bosan dan kesepian sampai ada yang bunuh diri.
Suatu hari, petani, nelayan, peladang, peternak atau pemburu akan berpindah tempat tinggal (manusia nomaden) karena satu dua hal seperti bencana alam, menghindari binatang buas, sumber daya alam yang menipis, dsb.. Dalam perjalanan berpindah-pindah seperti inilah nelayan akan bertemu petani, petani akan bertemu pemburu, pemburu bertemu peternak, dst.. Terjadilah interaksi di antara mereka yang pada akhirnya membuat masing-masing pihak sadar bahwa di muka bumi ini ada sumber makanan lain selain makanan yang mereka konsumsi sehari-hari. Ada sayur, buah-buahan, ikan, hasil laut, burung, kambing, domba, padi, gandum, dsb.. Saat itulah terjadi pertukaran makanan yang kita kenal dengan sebutan "barter" (tukar menukar).
Tempat di mana mereka sering bertemu ini lama-lama dijadikan pusat pertemuan dan pertukaran makanan resmi demi kemudahan dan efisiensi. Misalnya karena letaknya yang gampang dijangkau dari masing-masing pihak, aman dari gangguan binatang buas, dekat sungai, laut, dsb.. Dari sini Anda sebenarnya sudah bisa menarik pelajaran bahwa lokasi bisnis yang baik memang harus mudah dijangkau, dekat dengan konsumen, aman dan banyak fasilitas pendukung. Inilah yang dinamakan dengan istilah "strategis". Jadi bisa Anda bayangkan sebuah negara atau kota yang tiap hari demo, rusuh, bom meledak di mana-mana, transportasi macet, listrik amburadul, air bersih tidak ada, jalanan berlubang-lubang kayak kubangan sapi, bagaimana negara atau kota itu bisa maju? Sampai kiamat negara itu tidak akan maju sekalipun dipimpin seorang dewa atau malaikat. Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia tercinta ini tidak pernah maju dibandingkan negara-negara tetangga bahkan Malaysia.
Tempat pertemuan untuk melakukan barter ini, akhirnya disebut pasar yang diadaptasikan menjadi pasar moderan seperti yang kita kenal sekarang. Makanya pengertian pasar adalah tempat bertemunya penjual dengan pembeli. Padahal waktu dulu pasar bukanlah tempat bertemu penjual dan pembeli melainkan bertemu antara pemilik barang dengan peminat barang yang juga memiliki barang yang lain. Waktu dulu belum ada uang dan masih berlaku hukum barter.
Adanya proses pertukaran barang seperti ini memberikan pelajaran akan ilmu perdagangan internasional. Setiap negara memiliki sumber daya alam dan keunggulan yang berbeda dalam mengelola sumber daya tersebut. Otomatis perlu dilakukan kerjasama perdagangan internasional untuk meningkatkan daya gunanya. Contoh: Indonesia penuh sumber daya alam tetapi kekurangan teknologi. Otomatis harus berdagang dengan negara yang kekurangan sumber daya alam tetapi mampu secara teknologi. Inilah yang disebut bisnis internasional baik B2B (perusahaan ke perusahaan) atau G2G (pemerintah ke pemerintah).
Dengan adanya transaksi bisnis internasional, masing-masing negara akan mendapatkan keuntungan atau nilai lebih. Karena itu orang-orang yang sering meneriakkan kata-kata boikot produk asing tanpa dasar yang jelas atau hanya karena sentimentil primordialisme yang dikait-kaitkan dengan isu SARA, bisa dikatakan orang paling konyol di abad ini. Alasannya sangatlah sederhana: apakah negara lain tidak bisa melakukan hal yang sama dengan memboikot produk Indonesia? Bahkan akan jauh lebih fatal bagi sebagian rakyat Indonesia karena posisi negara kita adalah negara berkembang dan banyak hutang. Sudah ngutang kok masih mau petantang petenteng? Tidak perlu sampai negara lain memboikot pengiriman produk obat-obatan atau vaksin, cukup boikot suku cadang pesawat maka satu persatu orang Indonesia yang naik pesawat akan segera menghadap Rahmatullah.
Kekurangan Transaksi Barter
Transaksi Barter.
Transaksi pada mulanya memang barter. Makanan ditukar makanan. Semua kebutuhan hidup manusia ditukar begitu saja. Standarisasi atau nilai tukar belum ada dan belum bisa ditentukan. Yang berlaku hanyalah berdasarkan kebutuhan, stok barang dan mungkin sedikit hukum permintaan penawaran. Seorang petani akan menukar padinya jika lagi membutuhkan makanan lain, begitu juga seorang peternak akan menukar ayamnya jika membutuhkan makanan lain, dst.. Kalau tidak butuh maka tidak akan ada transaksi. Di samping itu, seorang petani akan menukar begitu saja sekarung padi dengan pemilik sayur, peternak akan menukar kambingnya begitu saja dengan pemilik ikan atau pemilik buah-buahan, dst..
Lama kelamaan transaksi barter ini menemukan kendala yang sangat riskan dan fatal. Alasan pertama, berkaitan dengan masalah jumlah atau takaran. Kalau sekarang kita menyebutnya satuan nilai. Apakah jika seseorang kaya raya maka dirinya harus menimbun padi, beras, ikan asin, buah-buahan berton-ton di rumah yang suatu hari akan lapuk dan membusuk? Tentu konyol bukan? Alasan kedua, bagaimana menakar sekarung padi atau beras dengan ayam, ikan, buah-buahan? Apakah 10 ekor ayam sama dengan 2 kilo ikan, atau 5 ikat sayur sama dengan 1 ekor kambing? Ayam dan kambing adalah binatang hidup yang bisa beranak pihak, sementara padi, sayur, buah-buahan, ikan bisa membusuk dan menyusut. Jadi di sinilah sumber kerumitan muncul dari transaksi barter.
Kabar baiknya: manusia adalah makhluk yang paling jenius. Jika masalah tersebut tidak bisa diatasi maka lama-kelamaan akan menimbulkan kekacauan. Kehidupan manusia bisa tidak berkembang ke arah yang lebih maju. Di samping dua masalah yang menyangkut satuan nilai, alasan ketiga adalah transaksi barter hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak membutuhkan barang yang dibawa pihak lain dan juga harus membawa barang yang dibutuhkan oleh pihak lain. Anda perhatikan baik-baik. Di sini jauh lebih rumit untuk terjadi. Seorang petani yang membutuhkan ikan tidak bisa melakukan barter jika dia hanya menemukan pemilik kambing. Sebab petani membutuhkan ikan dan tidak membutuhkan kambing. Sementara itu bisa saja nelayan tidak membutuhkan padi melainkan membutuhkan buah-buahan. Jadi meski masing-masing membawa produk yang mereka miliki, sudah ada takaran nilai tukarnya, membutuhkan produk lain, tetap saja tidak bisa bertransaksi sebelum menemukan lawannya.
Lama kelamaan petani yang membutuhkan ikan, berasnya keburu membusuk jika dia menunggu sampai nelayan yang membutuhkan buah-buahan untuk bisa membutuhkan padi. Begitu juga ikan si nelayan akan membusuk jika dia menunggu peladang yang sebenarnya membutuhkan kambing, dst. Rumit sekali bukan? Sama seperti saat ini, Anda punya produk A tetapi tidak mendapatkan peminat atau konsumen, lama-lama produk tersebut menjadi barang yang tidak ada gunanya alias rugi. Dari sinilah maka muncul cikal bakal yang dinamakan uang hingga seperti yang kita kenal sekarang dalam bentuk logam dan kertas.
Awal Mula Mata Uang
Mata Uang Logam dan Kertas.
Barter diatasi dengan menciptakan satuan nilai tukar dalam bentuk lain yakni mata uang. Uang pada mulanya mempergunakan alat-alat kerajinan tangan hingga perhiasan yang dimiliki orang zaman dulu. Bisa saja itu terbuat dari batu-batuan, kayu, kulit kerang, hingga yang terbuat dari logam (besi, perak, timah, kuningan, emas, dsb.). Nah, dengan adanya alat tukar inilah transaksi barter yang berkendala bisa disiasati dengan lebih baik. Jadi jika perlu sesuatu tinggal membayar dengan uang. Tak perlu lagi menunggu pihak lain membutuhkan barang kita.
Sejak manusia mengenal uang sebagai satuan nilai dan alat tukar, lama kelamaan barter ditiadakan. Tetapi dalam perjalanan waktu, penggunaan alat-alat tukar ini menemukan kerumitan dan kendalanya tersendiri. Alasannya karena bentuk fisiknya yang berat dan jumlahnya terbatas. Meski secara standarisasi nilai sudah cukup bagus karena logam mulia tidak bisa lapuk, rusak atau berkurang beratnya seperti penggunaan alat kerajinan tangan, tetapi tetap saja merepotkan.
Seperti kita ketahui bahwa emas, perak, tembaga, timah dan logam-logam lain jumlahnya sangatlah terbatas dan perlu usaha keras untuk menambangnya. Ini juga menjadi kendala yang sangat mengganggu. Suatu hari cepat atau lambat akan menemukan kendalanya tersendiri jika tidak segera dicari solusinya. Jumlahnya akan terus berkurang untuk ditambang karena sumber daya alam tambang tidak bisa diperbaharui. Lagian karena bentuk dan ukurannya yang berat menimbulkan masalah tersendiri. Apakah jika seseorang kaya raya maka harus menimbun batangan emas, perak, tembaga berton-ton di belakang rumah? Apakah kalau jalan-jalan ke luar negeri harus membawa berkarung-karung emas yang beratnya setengah mati? Sejak itu mulai dipikirkan dan diciptakanlah uang kertas seperti yang kita kenal sekarang. Tentu masih dilengkapi dengan bentuk uang logam tetapi pecahan yang sangat kecil dan ringan. Sampai di sini uang menemukan bentuknya yang luar biasa hingga kita pergunakan selama ribuan tahun. Dengan adanya uang kertas dan uang logam dalam jumlah terbatas, maka hadirlah bank-bank yang secara otomatis membuat semua kendala transaksi terpecahkan. Sampai di sini saya yakin Anda mulai paham.
Perjalanan waktu menjelaskan bahwa penggunaan uang kertas dan uang logam yang sudah ribuan tahun kita pergunakan ini tetap saja mulai menimbulkan kendala. Kendalanya itu terjadi karena semakin modern, semakin tinggi mobilitas manusia itu sendiri. Seperti kita ketahui apakah seseorang kalau bepergian ke luar negeri harus membawa berkoper-koper uang? Meski uang kertas sudah cukup ringan, tetapi bukankah tidak nyaman, rawan serta merepotkan? Apalagi di zaman sekarang di mana hutan semakin menipis untuk ditebang. Apakah seseorang harus terlebih dulu menukarkan mata uang asing negara tujuan sebelum bepergian ke negara tersebut? Hal-hal seperti inilah yang akhirnya memunculkan ide untuk menciptakan uang dalam bentuk lain yang bisa mengakomodir semuanya itu. Dari sinilah cikal bakal munculnya kartu plastik yang akhirnya memunculkan kartu kredit.
Dari serangkaian penjelasan ini Anda tahu bahwa kartu kredit tidak timbul dengan sendirinya. Semuanya bisa ditelusuri hingga ke zaman purba. Kartu kredit bukan produk asal-asalan yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan. Kartu kredit sudah melewati masa-masa sulitnya di zaman dulu. Bagaimana dengan masa akan datang seribu tahun kemudian dari sekarang? Tentu yang akan menjawabnya adalah anak cucu cicit kita nanti. Apakah akan menggunakan chip yang dibenamkan ke dalam telapak tangan atau jidat manusia seperti film 666 tentang pemerintahan antikris (one world order)? Apakah nanti akan disematkan di telepon selular atau e-KTP? Jawabannya hanya menunggu waktunya saja.
Dengan mengetahui latar belakang sejarah uang hingga terciptanya kartu kredit seperti ini, Anda tahu bahwa kartu kredit merupakan alat transaksi masa depan yang tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan kita. Anda tidak bisa menyepelekan atau cuek terhadap kartu kredit. Hanya orang bodoh yang berkata bahwa kartu kredit tidak ada gunanya. Kartu kredit sudah sama seperti uang itu sendiri, apalagi jika Anda tinggal dan menetap di negara-negara maju atau kota-kota besar di dunia.
Suatu hari, petani, nelayan, peladang, peternak atau pemburu akan berpindah tempat tinggal (manusia nomaden) karena satu dua hal seperti bencana alam, menghindari binatang buas, sumber daya alam yang menipis, dsb.. Dalam perjalanan berpindah-pindah seperti inilah nelayan akan bertemu petani, petani akan bertemu pemburu, pemburu bertemu peternak, dst.. Terjadilah interaksi di antara mereka yang pada akhirnya membuat masing-masing pihak sadar bahwa di muka bumi ini ada sumber makanan lain selain makanan yang mereka konsumsi sehari-hari. Ada sayur, buah-buahan, ikan, hasil laut, burung, kambing, domba, padi, gandum, dsb.. Saat itulah terjadi pertukaran makanan yang kita kenal dengan sebutan "barter" (tukar menukar).
Tempat di mana mereka sering bertemu ini lama-lama dijadikan pusat pertemuan dan pertukaran makanan resmi demi kemudahan dan efisiensi. Misalnya karena letaknya yang gampang dijangkau dari masing-masing pihak, aman dari gangguan binatang buas, dekat sungai, laut, dsb.. Dari sini Anda sebenarnya sudah bisa menarik pelajaran bahwa lokasi bisnis yang baik memang harus mudah dijangkau, dekat dengan konsumen, aman dan banyak fasilitas pendukung. Inilah yang dinamakan dengan istilah "strategis". Jadi bisa Anda bayangkan sebuah negara atau kota yang tiap hari demo, rusuh, bom meledak di mana-mana, transportasi macet, listrik amburadul, air bersih tidak ada, jalanan berlubang-lubang kayak kubangan sapi, bagaimana negara atau kota itu bisa maju? Sampai kiamat negara itu tidak akan maju sekalipun dipimpin seorang dewa atau malaikat. Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia tercinta ini tidak pernah maju dibandingkan negara-negara tetangga bahkan Malaysia.
Tempat pertemuan untuk melakukan barter ini, akhirnya disebut pasar yang diadaptasikan menjadi pasar moderan seperti yang kita kenal sekarang. Makanya pengertian pasar adalah tempat bertemunya penjual dengan pembeli. Padahal waktu dulu pasar bukanlah tempat bertemu penjual dan pembeli melainkan bertemu antara pemilik barang dengan peminat barang yang juga memiliki barang yang lain. Waktu dulu belum ada uang dan masih berlaku hukum barter.
Adanya proses pertukaran barang seperti ini memberikan pelajaran akan ilmu perdagangan internasional. Setiap negara memiliki sumber daya alam dan keunggulan yang berbeda dalam mengelola sumber daya tersebut. Otomatis perlu dilakukan kerjasama perdagangan internasional untuk meningkatkan daya gunanya. Contoh: Indonesia penuh sumber daya alam tetapi kekurangan teknologi. Otomatis harus berdagang dengan negara yang kekurangan sumber daya alam tetapi mampu secara teknologi. Inilah yang disebut bisnis internasional baik B2B (perusahaan ke perusahaan) atau G2G (pemerintah ke pemerintah).
FreeFoto.com |
Dengan adanya transaksi bisnis internasional, masing-masing negara akan mendapatkan keuntungan atau nilai lebih. Karena itu orang-orang yang sering meneriakkan kata-kata boikot produk asing tanpa dasar yang jelas atau hanya karena sentimentil primordialisme yang dikait-kaitkan dengan isu SARA, bisa dikatakan orang paling konyol di abad ini. Alasannya sangatlah sederhana: apakah negara lain tidak bisa melakukan hal yang sama dengan memboikot produk Indonesia? Bahkan akan jauh lebih fatal bagi sebagian rakyat Indonesia karena posisi negara kita adalah negara berkembang dan banyak hutang. Sudah ngutang kok masih mau petantang petenteng? Tidak perlu sampai negara lain memboikot pengiriman produk obat-obatan atau vaksin, cukup boikot suku cadang pesawat maka satu persatu orang Indonesia yang naik pesawat akan segera menghadap Rahmatullah.
Kekurangan Transaksi Barter
Transaksi Barter.
Transaksi pada mulanya memang barter. Makanan ditukar makanan. Semua kebutuhan hidup manusia ditukar begitu saja. Standarisasi atau nilai tukar belum ada dan belum bisa ditentukan. Yang berlaku hanyalah berdasarkan kebutuhan, stok barang dan mungkin sedikit hukum permintaan penawaran. Seorang petani akan menukar padinya jika lagi membutuhkan makanan lain, begitu juga seorang peternak akan menukar ayamnya jika membutuhkan makanan lain, dst.. Kalau tidak butuh maka tidak akan ada transaksi. Di samping itu, seorang petani akan menukar begitu saja sekarung padi dengan pemilik sayur, peternak akan menukar kambingnya begitu saja dengan pemilik ikan atau pemilik buah-buahan, dst..
Lama kelamaan transaksi barter ini menemukan kendala yang sangat riskan dan fatal. Alasan pertama, berkaitan dengan masalah jumlah atau takaran. Kalau sekarang kita menyebutnya satuan nilai. Apakah jika seseorang kaya raya maka dirinya harus menimbun padi, beras, ikan asin, buah-buahan berton-ton di rumah yang suatu hari akan lapuk dan membusuk? Tentu konyol bukan? Alasan kedua, bagaimana menakar sekarung padi atau beras dengan ayam, ikan, buah-buahan? Apakah 10 ekor ayam sama dengan 2 kilo ikan, atau 5 ikat sayur sama dengan 1 ekor kambing? Ayam dan kambing adalah binatang hidup yang bisa beranak pihak, sementara padi, sayur, buah-buahan, ikan bisa membusuk dan menyusut. Jadi di sinilah sumber kerumitan muncul dari transaksi barter.
Kabar baiknya: manusia adalah makhluk yang paling jenius. Jika masalah tersebut tidak bisa diatasi maka lama-kelamaan akan menimbulkan kekacauan. Kehidupan manusia bisa tidak berkembang ke arah yang lebih maju. Di samping dua masalah yang menyangkut satuan nilai, alasan ketiga adalah transaksi barter hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak membutuhkan barang yang dibawa pihak lain dan juga harus membawa barang yang dibutuhkan oleh pihak lain. Anda perhatikan baik-baik. Di sini jauh lebih rumit untuk terjadi. Seorang petani yang membutuhkan ikan tidak bisa melakukan barter jika dia hanya menemukan pemilik kambing. Sebab petani membutuhkan ikan dan tidak membutuhkan kambing. Sementara itu bisa saja nelayan tidak membutuhkan padi melainkan membutuhkan buah-buahan. Jadi meski masing-masing membawa produk yang mereka miliki, sudah ada takaran nilai tukarnya, membutuhkan produk lain, tetap saja tidak bisa bertransaksi sebelum menemukan lawannya.
Lama kelamaan petani yang membutuhkan ikan, berasnya keburu membusuk jika dia menunggu sampai nelayan yang membutuhkan buah-buahan untuk bisa membutuhkan padi. Begitu juga ikan si nelayan akan membusuk jika dia menunggu peladang yang sebenarnya membutuhkan kambing, dst. Rumit sekali bukan? Sama seperti saat ini, Anda punya produk A tetapi tidak mendapatkan peminat atau konsumen, lama-lama produk tersebut menjadi barang yang tidak ada gunanya alias rugi. Dari sinilah maka muncul cikal bakal yang dinamakan uang hingga seperti yang kita kenal sekarang dalam bentuk logam dan kertas.
Awal Mula Mata Uang
Mata Uang Logam dan Kertas.
Barter diatasi dengan menciptakan satuan nilai tukar dalam bentuk lain yakni mata uang. Uang pada mulanya mempergunakan alat-alat kerajinan tangan hingga perhiasan yang dimiliki orang zaman dulu. Bisa saja itu terbuat dari batu-batuan, kayu, kulit kerang, hingga yang terbuat dari logam (besi, perak, timah, kuningan, emas, dsb.). Nah, dengan adanya alat tukar inilah transaksi barter yang berkendala bisa disiasati dengan lebih baik. Jadi jika perlu sesuatu tinggal membayar dengan uang. Tak perlu lagi menunggu pihak lain membutuhkan barang kita.
Sejak manusia mengenal uang sebagai satuan nilai dan alat tukar, lama kelamaan barter ditiadakan. Tetapi dalam perjalanan waktu, penggunaan alat-alat tukar ini menemukan kerumitan dan kendalanya tersendiri. Alasannya karena bentuk fisiknya yang berat dan jumlahnya terbatas. Meski secara standarisasi nilai sudah cukup bagus karena logam mulia tidak bisa lapuk, rusak atau berkurang beratnya seperti penggunaan alat kerajinan tangan, tetapi tetap saja merepotkan.
Seperti kita ketahui bahwa emas, perak, tembaga, timah dan logam-logam lain jumlahnya sangatlah terbatas dan perlu usaha keras untuk menambangnya. Ini juga menjadi kendala yang sangat mengganggu. Suatu hari cepat atau lambat akan menemukan kendalanya tersendiri jika tidak segera dicari solusinya. Jumlahnya akan terus berkurang untuk ditambang karena sumber daya alam tambang tidak bisa diperbaharui. Lagian karena bentuk dan ukurannya yang berat menimbulkan masalah tersendiri. Apakah jika seseorang kaya raya maka harus menimbun batangan emas, perak, tembaga berton-ton di belakang rumah? Apakah kalau jalan-jalan ke luar negeri harus membawa berkarung-karung emas yang beratnya setengah mati? Sejak itu mulai dipikirkan dan diciptakanlah uang kertas seperti yang kita kenal sekarang. Tentu masih dilengkapi dengan bentuk uang logam tetapi pecahan yang sangat kecil dan ringan. Sampai di sini uang menemukan bentuknya yang luar biasa hingga kita pergunakan selama ribuan tahun. Dengan adanya uang kertas dan uang logam dalam jumlah terbatas, maka hadirlah bank-bank yang secara otomatis membuat semua kendala transaksi terpecahkan. Sampai di sini saya yakin Anda mulai paham.
Perjalanan waktu menjelaskan bahwa penggunaan uang kertas dan uang logam yang sudah ribuan tahun kita pergunakan ini tetap saja mulai menimbulkan kendala. Kendalanya itu terjadi karena semakin modern, semakin tinggi mobilitas manusia itu sendiri. Seperti kita ketahui apakah seseorang kalau bepergian ke luar negeri harus membawa berkoper-koper uang? Meski uang kertas sudah cukup ringan, tetapi bukankah tidak nyaman, rawan serta merepotkan? Apalagi di zaman sekarang di mana hutan semakin menipis untuk ditebang. Apakah seseorang harus terlebih dulu menukarkan mata uang asing negara tujuan sebelum bepergian ke negara tersebut? Hal-hal seperti inilah yang akhirnya memunculkan ide untuk menciptakan uang dalam bentuk lain yang bisa mengakomodir semuanya itu. Dari sinilah cikal bakal munculnya kartu plastik yang akhirnya memunculkan kartu kredit.
Dari serangkaian penjelasan ini Anda tahu bahwa kartu kredit tidak timbul dengan sendirinya. Semuanya bisa ditelusuri hingga ke zaman purba. Kartu kredit bukan produk asal-asalan yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan. Kartu kredit sudah melewati masa-masa sulitnya di zaman dulu. Bagaimana dengan masa akan datang seribu tahun kemudian dari sekarang? Tentu yang akan menjawabnya adalah anak cucu cicit kita nanti. Apakah akan menggunakan chip yang dibenamkan ke dalam telapak tangan atau jidat manusia seperti film 666 tentang pemerintahan antikris (one world order)? Apakah nanti akan disematkan di telepon selular atau e-KTP? Jawabannya hanya menunggu waktunya saja.
Dengan mengetahui latar belakang sejarah uang hingga terciptanya kartu kredit seperti ini, Anda tahu bahwa kartu kredit merupakan alat transaksi masa depan yang tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan kita. Anda tidak bisa menyepelekan atau cuek terhadap kartu kredit. Hanya orang bodoh yang berkata bahwa kartu kredit tidak ada gunanya. Kartu kredit sudah sama seperti uang itu sendiri, apalagi jika Anda tinggal dan menetap di negara-negara maju atau kota-kota besar di dunia.
Sumber: http://www.mafiakartukredit.com/2011/06/sejarah-uang.html
0 komentar on Asal-Usul Mata Uang Di Dunia :
Posting Komentar